1:56 PM 2/21/2008
Waktu SMP, aku lupa kelas berapa. Tiba-tiba ayah pulang ke rumah dengan membawa kamera, merknya Yasica MG-1. Dari kacamataku sih, sepertinya ayah enggak terlalu tertarik sama kamera yang dibawanya itu. Buktinya waktu aku main-main sama kamera itu, ayah enggak pernah protes. Asik-asik aja...
Ya udah, daripada nganggur, kamera analog itu aku sering bawa kemana-mana. Ke rumah teman, jjs, ke mall, bahkan ke sekolah. Pokoknya dulu aku raja jalanan deh. Tomboy banget. Yach... Sok-sok cari insprirasi gitu, kali-kali aja ada objek bagus yang bisa didokumentasikan.
Sejak itu aku jadi tertarik banget sama seni fotografi. Aku ingin sekali menjadi fotografer profesional. Tapi sayang, aku kurang gigih. Aku ngeri denger omongan orang yang bilang kalo belajar fotografi itu mahal, mengingat keadaan keluargaku yang standard aja. Bayangan itu membuatku kalah sebelum berjuang. Waktu lulus SMP aku pernah coba bilang sama ortu, kalo selepas SMA nanti aku pengen belajar fotografi dan kayaknya tempat belajarnya baru ada di Jakarta. Seperti yang udah aku bayangkan, mereka langsung nolak mentah-mentah opsi dariku.
Akhirnya aku memilih untuk memendam keinginan itu dan ngambil jurusan komputer waktu kuliah. Bener aja, aku berusaha untuk fokus. Tapi tetap rasanya hambar dan enggak asik buat aku. Kacau deh...
Yang aku tahu, aku sangat tertarik untuk mendokumentasikan apapun. Daripada baca buku doang, akhirnya aku memilih untuk belajar video editing dan digital fotografi aja secara otodidak. Karena kalau mau belajar secara formal juga mahal. Aku jadikan internet sebagai sarana mencari ilmu sebanyak-banyaknya, juga dari koran dan buku-buku tentunya.
Keinginanku untuk belajar fotografi, sampe sekarang ini belum padam. Walaupun udah nggak berniat lagi untuk menjadi fotografer profesional. Tapi aku bercita-cita, selama Allah masih memberiku nikmat hidup. Aku ingin beli kamera beneran. Kamera profesional, lalu belajar fotografi beneran, kalaupun enggak bisa sekolah, paling enggak aku mau ambil kursus fotografi. Trus aku salurkan deh hasrat terpendamku, membidik objek-objek bagus, supaya bisa menghasilkan karya-karya yang indah. Supaya kepuasan bathiniah ini tersalurkan, he he he...
Buat generasi muda nih, tetaplah punya cita-cita dan bersemangatlah untuk menggapainya. Walaupun kenyataan tampak jauh untuk meraihnya, tapi dengan memiliki cita-cita, kita jadi punya arah dan tujuan dalam hidup. Baru setelah itu go with the flow, pasrah, urusan berhasil atau enggak itu udah jadi rahasia Allah. Yang penting kan kita udah usaha. Kalau gagal ya usaha lagi, kalau gagal lagi ya usaha lagi. Namanya juga romantika kehidupan.
Cita-cita adalah penyemangat kita lho untuk bangkit dari kegagalan dan menjauhkan kita dari keterpurukan. Yang penting, Jangan putus asa atas rahmat Allah.
Tetap semangat!!!
Oh ya, aku baru tahu kenapa ayahku enggak terlalu excited sama kamera Yasica-nya. Ternyata, seorang teman ayahku pernah meminjam uang pada ayah. Tapi karena dia tidak punya uang untuk membayar hutangnya kembali, maka diberikanlah kamera itu pada ayahku sebagai pengganti pembayaran hutangnya. Pantes ayahku enggak semangat, lagi butuh duit eeeh yang dikasih kamera.
Waktu SMP, aku lupa kelas berapa. Tiba-tiba ayah pulang ke rumah dengan membawa kamera, merknya Yasica MG-1. Dari kacamataku sih, sepertinya ayah enggak terlalu tertarik sama kamera yang dibawanya itu. Buktinya waktu aku main-main sama kamera itu, ayah enggak pernah protes. Asik-asik aja...
Ya udah, daripada nganggur, kamera analog itu aku sering bawa kemana-mana. Ke rumah teman, jjs, ke mall, bahkan ke sekolah. Pokoknya dulu aku raja jalanan deh. Tomboy banget. Yach... Sok-sok cari insprirasi gitu, kali-kali aja ada objek bagus yang bisa didokumentasikan.
Sejak itu aku jadi tertarik banget sama seni fotografi. Aku ingin sekali menjadi fotografer profesional. Tapi sayang, aku kurang gigih. Aku ngeri denger omongan orang yang bilang kalo belajar fotografi itu mahal, mengingat keadaan keluargaku yang standard aja. Bayangan itu membuatku kalah sebelum berjuang. Waktu lulus SMP aku pernah coba bilang sama ortu, kalo selepas SMA nanti aku pengen belajar fotografi dan kayaknya tempat belajarnya baru ada di Jakarta. Seperti yang udah aku bayangkan, mereka langsung nolak mentah-mentah opsi dariku.
Akhirnya aku memilih untuk memendam keinginan itu dan ngambil jurusan komputer waktu kuliah. Bener aja, aku berusaha untuk fokus. Tapi tetap rasanya hambar dan enggak asik buat aku. Kacau deh...
Yang aku tahu, aku sangat tertarik untuk mendokumentasikan apapun. Daripada baca buku doang, akhirnya aku memilih untuk belajar video editing dan digital fotografi aja secara otodidak. Karena kalau mau belajar secara formal juga mahal. Aku jadikan internet sebagai sarana mencari ilmu sebanyak-banyaknya, juga dari koran dan buku-buku tentunya.
Keinginanku untuk belajar fotografi, sampe sekarang ini belum padam. Walaupun udah nggak berniat lagi untuk menjadi fotografer profesional. Tapi aku bercita-cita, selama Allah masih memberiku nikmat hidup. Aku ingin beli kamera beneran. Kamera profesional, lalu belajar fotografi beneran, kalaupun enggak bisa sekolah, paling enggak aku mau ambil kursus fotografi. Trus aku salurkan deh hasrat terpendamku, membidik objek-objek bagus, supaya bisa menghasilkan karya-karya yang indah. Supaya kepuasan bathiniah ini tersalurkan, he he he...
Buat generasi muda nih, tetaplah punya cita-cita dan bersemangatlah untuk menggapainya. Walaupun kenyataan tampak jauh untuk meraihnya, tapi dengan memiliki cita-cita, kita jadi punya arah dan tujuan dalam hidup. Baru setelah itu go with the flow, pasrah, urusan berhasil atau enggak itu udah jadi rahasia Allah. Yang penting kan kita udah usaha. Kalau gagal ya usaha lagi, kalau gagal lagi ya usaha lagi. Namanya juga romantika kehidupan.
Cita-cita adalah penyemangat kita lho untuk bangkit dari kegagalan dan menjauhkan kita dari keterpurukan. Yang penting, Jangan putus asa atas rahmat Allah.
Tetap semangat!!!
Oh ya, aku baru tahu kenapa ayahku enggak terlalu excited sama kamera Yasica-nya. Ternyata, seorang teman ayahku pernah meminjam uang pada ayah. Tapi karena dia tidak punya uang untuk membayar hutangnya kembali, maka diberikanlah kamera itu pada ayahku sebagai pengganti pembayaran hutangnya. Pantes ayahku enggak semangat, lagi butuh duit eeeh yang dikasih kamera.
Hello, Fani!
ReplyDeleteThanks for your posting and have a good day.