Ketika tadi aku mencium kepalanya tiba-tiba dia melompat dan dengan tidak sengaja membuat bibirku yang seksi ini (:P) jadi tambah seksi alias bengkak. Adek tampak merasa begitu sangat bersalah dan berulang-ulang kali meminta maaf padaku. Sambil tiduran aku memeluk dan menenangkannya. Dengan tidak melepaskan bantal yang menutupi wajahnya (mungkin dia malu ya) dan dengan suara yang sedikit parau dia bertanya, "Kapan ke dokter?"
"Siapa yang ke dokter?" Aku balik bertanya, bingung.
"Mahal ngga dokternya?"
"Hah?" Aku masih nggak ngerti juga maksudnya.
"Itu..." Mengintip sedikit dan menunjuk bibirku yang monyong.
"Oooh... Ibu nggak perlu ke dokter, sayang." Aku mencoba menjawab dengan nada tenang berusaha mengurangi kegalauan yang tampak dari suaranya.
"Kenapa? Nanti ibu sakit."
"Udah nggak sakit lagi kok, adek berdoa ya sama Allah biar bibir ibu cepat sembuh."
"Aaaah..." Dari nadanya aku tahu dia kesal dan lalu dari balik bantal aku mendengarnya terisak. Ketika aku perlahan melepaskan pelukanku pun dia tidak merengek seperti biasanya. Aku tahu itu artinya dia ingin sendiri.
"Adek pengen sendiri ya? Ibu ke depan ya?" Tanyaku.
"Iya, adek pengen sendiri."
"Oke, cium ibu dulu baru nanti adek boleh di kamar sendiri."
Perlahan dibukanya bantal yang sedari tadi menutupi wajahnya, lalu mendaratkan sebentuk ciuman lembut di pipi kiriku lalu kembali tenggelam dalam bantal besar itu then I left him alone.
Adek is such a sensitive young man. Dibandingkan dengan kakaknya yang lebih lepas dan cuek ketika menghadapi suatu masalah, Adek lebih perasa. Aku menghormati cara-cara yang dipilihnya untuk menenangkan diri karena walaupun masih terbungkus dalam tubuh yang kecil, dia tetaplah manusia. Selama apa yang dilakukannya tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan tidak keluar dari norma agama dan kepatutan, anak-anak bebas-bebas saja mengekspresikan diri mereka.
I love you, handsome.
Wish I could hold you all the time :)
"Siapa yang ke dokter?" Aku balik bertanya, bingung.
"Mahal ngga dokternya?"
"Hah?" Aku masih nggak ngerti juga maksudnya.
"Itu..." Mengintip sedikit dan menunjuk bibirku yang monyong.
"Oooh... Ibu nggak perlu ke dokter, sayang." Aku mencoba menjawab dengan nada tenang berusaha mengurangi kegalauan yang tampak dari suaranya.
"Kenapa? Nanti ibu sakit."
"Udah nggak sakit lagi kok, adek berdoa ya sama Allah biar bibir ibu cepat sembuh."
"Aaaah..." Dari nadanya aku tahu dia kesal dan lalu dari balik bantal aku mendengarnya terisak. Ketika aku perlahan melepaskan pelukanku pun dia tidak merengek seperti biasanya. Aku tahu itu artinya dia ingin sendiri.
"Adek pengen sendiri ya? Ibu ke depan ya?" Tanyaku.
"Iya, adek pengen sendiri."
"Oke, cium ibu dulu baru nanti adek boleh di kamar sendiri."
Perlahan dibukanya bantal yang sedari tadi menutupi wajahnya, lalu mendaratkan sebentuk ciuman lembut di pipi kiriku lalu kembali tenggelam dalam bantal besar itu then I left him alone.
Adek is such a sensitive young man. Dibandingkan dengan kakaknya yang lebih lepas dan cuek ketika menghadapi suatu masalah, Adek lebih perasa. Aku menghormati cara-cara yang dipilihnya untuk menenangkan diri karena walaupun masih terbungkus dalam tubuh yang kecil, dia tetaplah manusia. Selama apa yang dilakukannya tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan tidak keluar dari norma agama dan kepatutan, anak-anak bebas-bebas saja mengekspresikan diri mereka.
I love you, handsome.
Wish I could hold you all the time :)
Comments
Post a Comment