Skip to main content

Menahan Diri

Dulu ketika remaja, aku sering membantah hampir semua perkataan dan nasihat ibu. Hingga suatu kali ayah memanggilku, "Nak, jika ibu berkata sesuatu dan kamu tidak menyukainya atau menyetujuinya, lebih baik kamu diam, didengarkan saja. Jangan membantahnya atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti hatinya. Berdosa nak, jika kamu terus membantah ibu, ... " Perkataan ayah membuatku membayangkan wajah lelah ibuku. Sejak itu walaupun aku masih sering memberontak dengan caraku, tapi aku tidak berani untuk berkata kasar kepada ibu.

Ayah bukan makhluk yang sempurna, tapi aku bersyukur memilikinya. Ayah selalu menempatkan diri sebagai pemimpin bagi kami, tidak satu kalipun beliau mengelak atau melakukan pembelaan diri ketika ada orang yang datang untuk meminta pertanggung jawaban apabila kami sudah melakukan kesalahan, karena kesalahan kami selain tanggung jawab kami tetapi beliau juga sadar bahwa kami adalah tanggung jawabnya.

Hingga kami dewasa beliau masih sering memeluk dan mencium kening kami, ada keteduhan dan ketulusan yang kami rasakan. Keikhlasan kasih sayang itulah yang pasti juga dirasakan cucu-cucunya, hingga ketika beliau jauh sekalipun dan jarang bertemu, tetapi ketika bertemu cucu-cucunya selalu merasa senang, tidak canggung dan selalu merasa dekat.

Kecukupan kasih sayang yang membuat kami merasa selalu tercukupi, walaupun keluarga kami tidak berlebihan secara materi. Kami selalu merasa terlindungi. Beliau tidak pernah menghakimi dan mengatur-ngatur kami. Mungkin itulah yang membuat kami menjadi pribadi-pribadi yang terbuka akan kritik, tapi tidak bisa diam menerima jika diperlakukan dengan tidak baik. Kritik harus tetap disampaikan dengan cara-cara yang anggun dan elegan bukan dengan sengaja menyakiti karena merasa benar sendiri.

Ayah juga mengajarkan kami untuk pandai menahan diri, jangan mudah terpancing emosi dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah satu-satunya pegangan, Allah satu-satunya pengharapan, yang membuat kami selalu positif dan tidak takut akan kehidupan esok hari yang masih buram. Bukan dengan kata-kata beliau mendidik kami, tapi dari bagaimana beliau menyikapi peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, dalam kehidupan kami.

Jika aku melihat wajah anak-anakku, seringkali aku merasa bahagia, bangga dan bersyukur, tapi tak jarang aku juga merasa sedih dan menyesal, andai aku dulu lebih sabar dan bertindak yang benar, andai aku bisa memberikan yang terbaik untuk mereka seperti yang ayah dan ibu berikan padaku dulu hingga sekarang.

Aku pernah mendengar ada orang yang membicarakanku dibelakangku seakan-akan orang tuaku tidak cukup baik mendidikku, terutama tentang masalah uang. Ahahaha, uang lagiii... Jakarta, Jakarta... Engkau sudah mampu membuat orang-orang menjadi begitu mencintai dunia, sehingga orang lupa bagaimana lagi cara mencintai manusia tanpa membelinya dengan uang. Yaaah, mungkin orang itu benar. Tetapi orang itu lupa, dulu ketika dia belum punya apa-apa, siapa yang membantunya. Handphone siapa yang dia gunakan. Motor siapa yang dia pakai. Di rumah siapa dia tinggal dan makan. Ayah dan ibuku tak pernah menghitungnya karena mereka ikhlas, seucap pun tidak pernah diungkitnya. Tetapi ketika ayah dan ibu membutuhkan bantuan, uang seperak pun akan dijabarkannya. Bibir berkata ikhlas tapi dengan nada yang nyinyir menghina. Kasihan... Mungkin orang tuanya tidak pernah mendidiknya menjadi seorang gentleman, apalagi menjadi orang yang ikhlas dan sabar.

Dia juga bilang, tidak ada yang boleh menyakiti kami, tapi ternyata dia orang pertama yang menyakiti kami. Dia bilang sangat menyayangi kami, tapi dia juga orang yang paling suka berkata dan bersikap kasar kepada kami. Aaah, orang-orang munafik itu akan semakin bertebaran di bumi yang hampir kiamat ini.

Tapi tidak apa-apa, mungkin memang orang tuaku belum berhasil mendidikku untuk menjadi mesin penghasil uang dan mereka memang tidak pernah mendidikku seperti mesin, tapi aku rasa mereka cukup berhasil menjadikan aku seorang anak, manusia, yang mempunyai kemampuan untuk merasa, menahan diri, bersabar, dan menjadi seorang istri dan ibu yang dicintai oleh anak-anakku.

Hmmm, syukurlah Allah tidak menilai dari seberapa banyak uang kita hasilkan, tapi seberapa besar kita ikhlas mengeluarkannya untuk kebaikan dan membantu orang lain. Aku akan tetap mendoakannya, semoga Allah membuka pintu hatinya. Kasihan, hatinya sedang buta, dibutakan oleh ego dan dunia yang fana. Semoga dia segera sadar dan mulai mensyukuri semua nikmat yang Allah berikan, jika tidak ingin kehilangan semua yang dimilikinya.

Doaku, semoga anak-anak mendapatkan kasih sayang dan kehangatan seorang ayah seperti yang ayahku berikan dengan tulus kepadaku. Semoga kebahagiaan selalu menghiasi hati dan jiwa mereka, dan mereka juga bisa membagi kebahagiaan yang mereka rasakan untuk siapa saja yang berada disekitar mereka. Fighting ;)
posted from Bloggeroid

Comments

Popular posts from this blog

Raport

"Kenapa Adek butuh nilai?" "Untuk raport." "Supaya?" "Bisa ikut ujian." "Supaya?" "Dapet ijazah." "Supaya?" "Dapet kerja, mungkin..." "Kan Adek mau jadi gamers, emang butuh ijazah?" "Nggak juga sih..." "Lagian siapa yg mau kerja boring kayak ayah gitu." "Tanggung jawab, nak untuk keluarga." "Ooo, oke!" (+_+) posted from Bloggeroid

Alhamdulillaah...

Baru dapat rejeki, eh malem-malem ada yang ketok pintu mau pinjam uang. Mungkin duitnya emang dititipin oleh Allah buat dipinjemin dulu kali ya... Kira-kira itu duit bakal dibalikin nggak ya sama orangnya? Hadeeeeh, ikhlas nggak sih sebenarnyaaaaa? Hiks :D

Secepat Mobil?

Ibu : Anak-anak, mulai besok kita belajar matematikanya ngebut ya? Sepertinya kita agak ketinggalan nih... Adek : Secepat mobil supersonic atau mobil F1? Gubrak ( )(^^)( ) posted from Bloggeroid